Indie Label: Antara Subkultur, Resistensi dan Industri Musik
Sejatinya,
manusia selalu butuh hiburan dalam hidupnya. Baik yang berupa tontonan
melalui media visual maupun hal yang menggunakan indera pendengaran.
Dalam konteks indera pendengaran, adalah musik yang merupakan salah satu
hiburan bagi manusia. Musik merupakan bahasa universal yang
representatif bagi para pendengarnya. Ketika sedang merasa senang,
sedih, dilema, sehat maupun sakit, musik seperti mempunyai varian rasa
yang lengkap ditelinga. Musik juga bisa menjadi bahasa sosial paling
provokatif terhadap isu atau gejala yang sedang gandrung di masyarakat.
Entah gejala sosial, politik, ekonomi atau budaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Dedik S. Santoso yang berjudul Pengaruh Musik Terhadap Performance Fisik (2002)
menjelaskan bahwa musik memiliki pengaruh yang positif secara
psikologis, yaitu dalam hal menurunkan detak jantung. Jenis musik yang
berbeda memberikan tingkat pengaruh yang berbeda pula. Pengaruh yang
terbesar diberikan oleh musik favorit. Namun demikian, di dunia kerja
secara nyata, memainkan musik favorit agak sulit dilaksanakan sebab
masing-masing pekerja memiliki musik favorit yang berbeda, karena itu
musik favorit bisa digunakan bila masing-masing dari mereka menggunakan headset.
Dari
hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa musik mempunyai
pengaruh terhadap psikologis, kejiwaan dan mental seseorang. Meskipun
setiap orang mempunyai selera musik yang berbeda-beda, namun musik
seperti mempunyai kemampuan untuk mengonstruksi nalar seseorang.
Konstruksi musik jelas dapat dilihat dari lirik atau pesan yang ingin
disampaikan dari pemusik kepada pendengar. Misalnya saja lagu yang
bertemakan tentang seseorang yang di khianati cintanya kemudian bunuh
diri. Pesan yang disampaikan dari lagu tersebut bisa saja dipercaya
bahkan dilakukan oleh para pendengarnya.
Dominasi Industri
Terlepas
dari itu semua, musik mempunyai cara pendistribusian hingga sampai pada
ke telinga pendengar. Melalui label lah musik dapat didistribusikan ke
para pendengar. Biasanya, label mempunyai dua karakter, pertama major
label dan yang kedua indie label. Major label adalah perusahaan musik
dengan modal besar dan profit yang besar pula. Sedangkan indie label
adalah perusahaan musik dengan skala lebih kecil, bahkan terkadang milik
musisi itu sendiri.
Artikel yang berjudul Inilah Penyebab Keterpurukan Industri Musik Indonesia dalam sorotnews.com menjelaskan
bahwa salah satu penyebab keterpurukan industri musik Indonesia adalah
karena penguasaan berlebihan dari major label musik tempat
seniman/musisi bernaung. Penguasaan industri musik tersebut dimulai dari
mengekang kreasi dari seniman, mengatur pola distribusi hingga
mempengaruhi selera musik masyarakat (sorotnews.com).
Dalam artikel tersebut, musisi Endah Widyastuti memaparkan bahwa
keterpurukan industri musik karena ada dominasi pemberitaan berlebihan
media yang tidak berimbang dan hanya dikuasai oleh pemegang industri
tertentu, yaitu major label.
Dalam
kajian kritis, telaah Theodor Adorno tentang teori musik pop ialah
dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni
standarisasi dan individualitas semu. Standarisasi menjelaskan mengenai
tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal
originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi
menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa
antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan (Strinati, 2007:
73). Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam
berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi
komoditas tersendiri. Pengkomodifikasian tersebut yang menghasilkan
fetisisme komoditas nantinya.
Standarisasi
dalam hal ini adalah major label menstandarisasikan jenis musik dan
selera pasar. Musik nuansa pop melayu dengan nada-nada minor
mendayu-dayu menjadi sangat akrab ditelinga masyarakat Indonesia,
khususnya untuk anak muda. Sedangkan individualitas semu adalah dimana
penikmat musik di Indonesia telah dikonstruk oleh industri musik
bertaraf major label, selera musik mereka sudah di dikte oleh major
label, mereka tidak sadar sehingga kesadaran mereka tentang musik
hanyalah kesadaran semu.
Dengar dan Lawan!
Grup musik Efek Rumah Kaca mengkritik kondisi musik Indonesia dengan lagu Cinta Melulu. Dimana lirik yang berbunyi, ‘atas nama pasar semuanya begitu klise….’. Mereka ingin berpesan bahwa lagu-lagu mainstream
Indonesia hanya berada disekitar tentang perselingkuhan, patah hati,
atau tentang cinta-cintaan lainnya. Musik tidak lagi dinilai sebagai
karya intelektual yang dapat dinikmati dan dipelajari, tetapi menjadi
produk industri yang berperan hanya sebatas hiburan dikala lelah dan
waktu senggang.
Namun
dilain sisi, potret industri musik Indonesia tidak stagnasi disitu
saja. Ada beberapa musisi yang benar-benar mencintai musik dan bernaung
dibawah indie label. Melalui karya-karya berkualitasnya, mereka hidup
untuk musik dan musik untuk hidup. Mereka tidak peduli pasar apa yang
akan menyukai mereka, namun mereka yakin punya pasar sendiri dari musik
yang mereka tawarkan meski hanya dalam skala minoritas.
Penelitian yang dilakukan oleh Dimas Anindityo yang berjudul Research On How Indonesian Indie Music Artists Live In Indonesia’s Underdeveloped Market
memaparkan jika major label dapat menegaskan keberadaan mereka dengan
memproduksi lagu pop murahan di Indonesia, itu tidak sama dengan musisi
indie. Tidak seperti di Inggris dan Amerika Serikat, dimana musik indie
sekarang menjadi hal umum dan industri bisa menerima mereka. Namun di
Indonesia, musik indie masih dalam proses penerimaan.
Ditengah
arus dominasi major label pada industri musik Indonesia, musisi-musisi
independent atau indie mempunyai peran dalam mengedukasi masyarakat luas
bahwa musik tidak sekedar untuk kebutuhan bisnis atau komoditas, tetapi
sebuah karya intelektual melalui lirik-lirik mencerdaskan, putis atau
provokatif dengan dibalut instrumen musik yang mengajak kita untuk
melakukan sesuatu dari isu yang diangkat dari tema lagu tertentu. Maka,
musik bukan hanya sebagai media hiburan belaka dengan kekosongan makna,
tetapi sebagai fasilitator untuk mencapai kepekaan sosial di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar